Imam Malik, dalam bukunya Al-Muwatha'
meriwayatkan bahwa Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah, sahabat Nabi yang memimpin
pasukan Islam menghadapi Romawi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, suatu
ketika menyurati Umar, menggambarkan kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi
pasukan Romawi.
Umar menjawab, "Betapapun seorang Muslim ditimpa
kesulitan, Allah akan menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena
sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mampu mengalahkan dua
kelapangan.
Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa
berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan
kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah
berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.
Kelapangan yang dimaksud
dalam jawaban Umar merupakan bentuk penyikapan terhadap kesulitan, mengubah
energi negatif menjadi energi positif. Kelapangan akan mampu mengalahkan
kesulitan tatkala dalam diri pemilik kesulitan terpatri sikap optimisme (QS
Asy-Syarh: 5-6).
Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan
pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati
untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.
Di
samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme merupakan pemicu agar kita
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, walaupun baru saja
menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada kekosongan setelah satu bidang
terpenuhi (QS Asy-Syarh: 7).
Rasulullah Saw mengajak umatnya agar
terus-menerus bekerja dan berusaha tanpa menggantungkan diri kepada orang lain.
Sabda beliau, "Demi Tuhan, sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali,
kemudian mengikat sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual,
sehingga Allah memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik
daripada ia meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak." (HR
Bukhari).
Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat Islam.
Membangun sikap optimisme, setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita lakukan,
Pertama, melakukan perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal nyata.
Sesungguhnya keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu
menghasilkan karya berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep
belum berwujud aksi.
Kedua, yakin akan ada kelapangan di hari kemudian.
Kelapangan yang diperoleh dari kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi
tiada henti dengan dibarengi keyakinan adanya bantuan Ilahi. "Sesungguhnya
kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia," demikian kata Muhammad
Abduh.
sumber : Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar