Suatu kali Rasulullah bertanya kepada para sahabat, “Siapa yang lebih mencintai
harta ahli warisnya ketimbang hartanya sendiri?” Sebuah pertanyaan khas yang
sering digunakan Rasul untuk menuju kepada jawaban yang sudah pasti, yakni tak
seorangpun kecuali orang tidak normal. Begitulah jawaban para sahabat. Kemudian,
menurut riwayat Bukhari, Nabi meneruskan, “Hartanya sendiri adalah harta yang
sudah diamalkan (untuk kebaikan) sedangkan harta ahli warisnya adalah selain
itu.”
Dalam banyak kesempatan Rasulullah mengajak kepada segenap ummat
Islam untuk menjauhi sikap kikir. Tolok ukur yang paling gampang terhadap
kekikiran seseorang adalah kecuekannya terhadap orang lain yang memerlukan
bantuan. Bantuan bisa berupa apa saja, yang kesemuanya ditujukan untuk
mengurangi kesulitan. Bagi yang kehujanan, dibutuhkan naungan; bagi yang
kepayahan, diperlukan waktu istirahat; bagi yang tak punya biaya perjalanan,
bisa diberikan tumpangan. Itu bila konteksnya pribadi. Tetapi juga ada keperluan
yang bersifat umum, yang membutuhkan uluran tangan bersama seperti untuk
membangun masjid, sekolah, mengurus kaum papa, dan sejenisnya.
Bagi
siapa saja yang ingin harta pribadinya banyak, hendaklah tidak menunda-nunda
memberikan bantuan pertolongan sebisanya. Sebaik-baik pertolongan, adalah yang
dilakukan secara diam-diam. Artinya, bantuan yang memang tulus, dan tidak
dimuati niatan lain, terlebih popularitas. Sebab niatan lain yang disebut riya'
itu akan menghanguskan semua nilai (pahala) sadaqah. Tetapi ada pula bantuan
yang sengaja diberitahukan kepada khalayak, dengan maksud agar menjadi contoh
dan orang lain ikut serta membantu. Ini bila kebutuhan akan bantuan itu cukup
besar. Allah berfirman: “Jika kamu perlihatkan sadaqahnya, itu baik. Tetapi bila
kamu rahasiakan, dan kamu berikan kepada fakir miskin, maka lebih baik, dan
Allah akan menghapus dosamu. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS
al-Baqarah: 271)
Perihal bantu-membantu, Islam tidak membatasi jenisnya.
Dalam hal apa saja, kepada siapa saja. Tetapi ada larangan yang tegas, untuk
tidak bantu-membantu dalam keburukan dan dosa, dan tidak saling membantu dengan
orang kafir untuk merugikan kaum muslimin. Istilah al-Qur'an, walaa ta'aawanuu
`alal-itsmi wal-'udwaan (al-Maaidah: 2). Sebuah contoh yang bisa dianalogikan
kepada banyak hal lain adalah ketentuan Islam yang menjatuhkan dosa khamr
(minuman keras) kepada pembuatnya, pemeras (anggur)nya, penjualnya, pembantunya,
maupun peminumnya. Semua kebagian dosanya.
Membantu orang kafir untuk
merugikan kaum mukminin juga memiliki arti yang sangat luas. Sebab pada saat ini
upaya kaum kaafirun melawan Islam itu sudah berupa konspirasi global. Mereka
bahu-membahu sekuat tenaga, dan secara langsung maupun tak langsung telah
melibatkan ummat Islam sendiri. Bukankah, bila kaum muslimin membeli produk
mereka yang nyata-nyata ditujukan untuk merusak moral berarti juga ikut memberi
andil menyukseskan langkah mereka? Sebab kejatuhan moral masyarakat akan semakin
memojokkan kebenaran syari'at, dan mempercepat datangnya adzab dari Allah.
Mengamalkan harta untuk kebaikan bisa terpilah pada beberapa katagori.
Ada yang termasuk darurat, ada yang urgen alias mendesak, dan ada yang
biasa-biasa saja. Ketiganya tetap perlu dilakukan, sebab mengutamakan hanya yang
darurat membuat seseorang tidak bisa menginfaqkan hartanya secara kontinyu.
Apalagi, datangnya bencana atau musibah yang menjadikan sekelompok masyarakat
sangat butuh bantuan tidak bisa diperkirakan kapan akan datang.
Ada
beberapa penyakit yang menghalangi keikhlasan dalam bersadaqah. Penyakit itu
bisa dari dalam diri seseorang, juga bisa dari luar. Yang dari dalam adalah
penyakit hati semacam kikir dan hasud. Kikir mengarahkan seseorang kepada
kekhawatiran akan rugi, jatuh miskin, bila mengeluarkan hartanya secara
cuma-cuma. Padahal, bisa jadi yang hendak diberikannya itu ibarat setitik air di
ujung jari yang tercelup ke bak mandi, dibanding kekayaannya. Masih banyak
kejadian, kaca mobil mewah di perempatan jalan digedor pengemis lantaran
pengendaranya enggan menyumbang, meski hanya seratus rupiah.
Sedangkan
hasud membuat seseorang cenderung curiga terhadap yang meminta. Katanya, kok
enak saja minta, kerja dong! Padahal bisa jadi si peminta benar-benar sudah
berusaha cari kerja namun selalu gagal. Kecurigaan lain, mengira peminta itu
malas. Karena malas, sebaiknya tidak diberi apa-apa, agar tidak semakin menjadi
pemalas saja. Dengan memberi uang receh, berarti tidak mendidik mereka, apalagi
bila pengemisnya masih anak-anak. Kecurigaan-kecurigaan seperti ini sebaiknya
ditelusuri lagi secara lebih mendalam di dalam hati masing-masing. Apakah
benar-benar karena idealisme untuk mendidik, atau justru karena keengganan kita
mengeluarkan sesuatu? Toh, semua orang memiliki tanggung jawabnya masing-masing
terhadap apa yang dimilikinya. Tidak memberi bisa berarti mendidik, memberipun
bisa berarti mendidik bila penerimanya menggunakan dengan benar.
Ada
faktor luar juga yang mengganggu keikhlasan mereka yang berinfaq. Yakni
ketidakjujuran para amil alias pengurus dana masyarakat. Sering sekali
terdengar, uang sumbangan dari masyarakat tidak sampai kepada yang berhak,
tetapi nyantol di `agen'. Atau sampai, tapi hanya sebagian. Kadang, sampainya
tidak merata, lebih banyak kepada sebuah pihak saja hingga membuat pihak lain
marah. Atau terlalu lambat disalurkan sehingga keburu rusak. Kondisi ini
menjadikan dilema bagi mereka yang hendak berinfaq. Bagi yang memang sudah
menyimpan penyakit di hatinya, akan menjadi tambahan alasan untuk tidak jadi
berinfaq saja. Padahal bila banyak orang menjadi kikir, maka ancaman Nabi akan
menjadi kenyataan, yakni banyak orang bakal masuk neraka. Sabda Nabi,
“Hindarilah neraka, sekalipun dengan sadaqah sebiji kurma.” (HR Bukhari)
Perintah dan anjuran untuk tidak kikir, banyak bersadaqah, suka memberi,
itu sama sekali bukan isyarat bagi kaum muslimin yang merasa lemah untuk
menggantungkan rezekinya kepada orang lain. Pada kesempatan yang lain, Rasul
juga mengancamkan hal yang sama berat kepada ummatnya yang suka meminta-minta.
Perbuatan hina itu, bila dilakukan tidak karena terpaksa, juga akan
menjerumuskan seseorang ke neraka.
Imam Muslim meriwayatkaan, ketika Abi
Bisyi Qubaishah bin al-Mukhariq meminta bantuan kepada Rasulullah karena ia
punya tanggungan harta untuk menyelesaikan perselihan antar kaum (hamalah), Nabi
menyuruhnya untuk menunggu ada kiriman zakat atau sadaqah sembari berkata, “Hai
Qubaishah, sesungguhnya meminta-minta itu tidak dihalalkan kecuali atas tiga
orang: Pertama, seseorang yang menanggung hamalah, maka dibolehkan minta-minta
sampai tercukupi, lalu berhenti. Kedua, seseorang tertimpa bala bencana sampai
habis semua hartanya, maka ia boleh meminta-minta untuk menutup kebutuhannya.
Ketiga, seseorang yang benar-benar miskin, dapat disaksikan oleh tiga orang
terkemuka dari kaumnya bahwa ia benar-benar miskin, maka boleh meminta-minta
sampai tertutup kebutuhannya dan ia dapat hidup secara sederhana. Selain dari
itu, maka yang dimakan peminta-peminta adalah haram.” (dari Riyadhush-Shalihin)
Pada riwayat lain Nabi pernah bersabda, “Seseorang peminta-minta itu
nanti menghadap Allah dalam keadaan tiada sepotong daging di mukanya.” (HR
Bukhari & Muslim)
Begitulah cara Islam memberikan pelajaran, tidak
pernah pincang. Di satu sisi melarang ummatnya kikir, mengancamnya, dan
mengingatkan bahwa harta itu tidak ada artinya di hadapan Allah, pada sisi yang
lain melarang pula seseorang mengemis kecuali terpaksa, dan mengancamnya secara
mengerikan.
Pengecualian yang berupa bencana, akhir-akhir ini sering
terjadi. Rasul telah memberikan hak kepada mereka yang hartanya habis oleh
musibah, untuk meminta bantuan. Dan hendaklah orang lain yang telah menyaksikan
musibah itu tidak menunda-nunda untuk sesegera mungkin mengulurkan tangan.
Musibah itu tidak memilih-milih, apakah muslim atau kafir, kaya atau
miskin, beranak 10 atau bujangan. Itu adalah kehendak Allah, yang alasannya
semata Dia yang tahu, apakah merupakan ujian atau adzab, atau keduanya
sekaligus. Mereka yang kehilangan segalanya, berhak untuk memperoleh, sekadar
kecukupan untuk modal hidup.
sumber : eramuslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar